[Cerpen]
" Dear pemilik mata sipit......
Kalau dari mana pertama kali aku mengetahui keberadaanmu. Aku akan sebut, cermin. Aneh, tapi dari benda tersebutlah mata kita saling beradu secara tak langsung. Sambil kamu melangkahkan kakimu, mata sipitmu masih terus mengarah ke cermin yang tak secara langsung melihatku. Hanya kita berdua. Hingga akhirnya kita harus menyudahi adu mata itu saat punggungmu hilang menuju anak tangga. Kamu tahu? Pernah ada hal tergila yang kulakukan demi mengetahui namamu. Setiap dosen yang kebetulan telah selesai mengisi jam mata kuliahmu, mataku tak sedikit lengah untuk melihat tangannya meletakkan absen kelasmu. Kemudian kakiku melangkah secara perlahan sambil mengendap - endap seperti pencuri sambil sesekali arah bola mataku melihat ke arah sekitar memastikan bahwa tidak ada manusia lain yang melihatku. Mata dan tanganku menyusuri tiap bait nama hingga ku pastikan satu nama terakhir adalah kamu sebagai pemiliknya. Aku pernah ingat ketika temanmu sempat memanggil namamu. Betapa hebatnya aku yang mencoba menjelaskan telingaku kala kamu sedang berjalan melintas bersama temanmu. Gila? Ya, mungkin saja.
Aku fikir sejak di hadapan cermin pula kita saling mengetahui keberadaan satu sama lain. Saling memperhatikan, dan ingin menunjukkan diri.
Hari itu jum'at 21 maret, aku melihatmu lama dari balik kaca hitam yang tak bisa kamu lihat dari luar. Disaat aku mencari posisi aman mencuri pandang ke arahmu dengan mengarahkan kursi disamping dosenku ketika sedang bercengkrama. Mungkin aku curang, karena tidak berani menatap lama mata sipitmu yang kusuka itu. Apalagi ketika langkah kita saling bersahutan menyapa setiap anak tangga. Hening namun seolah setiap hati saling berbicara. Lagi - lagi hanya kita berdua.
Dan akhir pertemuan kita kala itu, kita tampak aneh. Aku yang seolah tampak biasa saja, dan kamu yang berjalan tenang melintas dihadapku. Seketika kamu mengalihkan wajahmu ketika ada seorang pria lain yang kukata "tampan". Saat itu aku tersenyum tanpa tahu maksudnya. Kamu menolehkan wajahmu ke arah pria itu. Tidak pernah tahu apa yang ada di benakmu. Entah kamu ingin tahu siapa pria itu, entah mungkin saja kamu membandingkan ketampananmu dengannya. Ya, terakhir kalinya aku melihat punggungmu lama. Pernah sadar? Ketika kamu berjalan, ada seseorang yang sedang menikmati punggungmu. Aku dapat melihatmu puas tanpa grogi. Dan ketika kamu memalingkan wajah dan tubuh ke arahku lagi, dengan cepatnya kupalingkan wajahku.
Terima kasih mata sipit itu, yang telah bersinggungan langsung dengan kehidupanku. Terima kasih punggung itu, yang membuatku serasa tak ingin berkedip karena takut kamu tiba - tiba hilang diujung jalan sana, yang memberikan banyak kenangan indah yang cukup dikenang saja saat ini".
Sore itu 09 januari kuberanikan mengirim surat itu ke email pribadinya. Lagi - lagi aku mengetahuinya karena dahulu ia pernah mencantumkan alamat email pada akun sosmednya. Ya dulu sekali aku sering mencari namanya di kolom pencarian dan menikmati timelinenya dengan sangat berhati - hati. Aku memberanikannya karena hampir 6 bulan terakhir aku tak lagi pernah berjumpa dengannya. Sekadar menyeka layar ponselku membaca timeline akunnya pun tak ku lakukan. Bukan telah berpindah rasa, namun sedang menganggunkan diri untuk pria baik lainnya di luar sana yang entah sebagai tempat penyandar bahuku atau mungkin pelabuhan hati terakhir.
Hari ini 11 januari tepat setelah kukirimkan email itu 3 tahun yang lalu. Seketika mataku tertuju tajam padanya. Pada pertemuan yang entah mengapa harus ku iyakan ajakan seorang teman. Lagi - lagi, mata kami saling beradu pandang tak perduli ada beberapa orang yang menyesaki setiap kedipan mata. Aku berdiri dengan kedua tangan masih terus memegangi dompet silverku. Sesekali temanku tampak menarik tangan kananku mengajakku untuk ikut bersalaman dengan para pemilik acara. Saat itu otakku kosong, hanya ada kenapa harus aku yang di ajak oleh temanku. Kenapa pula dia harus memutuskan kekasihnya seminggu sebelumnya ketika ia akan menghadiri acara bahagiamu.
Lagi - lagi kehendak Tuhan. Takdir yang tak bisa ku atur sesuka hati. Masih dengan tangan temanku yang terus memegangiku, aku pun ikut mengulurkan tangan, mengucap selamat, memekarkan senyumku, mendoakanmu tulus.
" Terima kasih ya" ucap pria bermata sipit itu yang telah bersanding dengan wanita baik pilihannya. Sedang aku hanya menganggukkan kepala melihat ke antrian depan dimana temanku masih asik bercerita dengan sang mempelai wanita. Saat itu pula aku menyadari bahwa mempelai wanita lah yang mengundang temanku. Terkadang aku mengalihkan wajah walau dari ujung mata tampak ia terus menatapku dengan mata sipitnya.
" Kamu, apa kabar?" Tanyanya seketika yang membuat mataku tersentak lalu mengarahkan kepalaku.
" Ya? Aku? Aku baik. Dan akan selalu baik" ucapku terbata - bata.
" Syukurlah, semoga Tuhan selalu melindungimu, mengaminkan do'amu. Terus membahagiakanmu".
" Iya, Amin. Terima kasih" sambungku dan berlalu menyalami mempelai wanita.
Ku arahkan mataku ke arah langit - langit. Memastikan bahwa air mata tak boleh keluar dari pelupuk mata.
Ya, tak boleh ada yang tersakiti karena sejak aku memantapkan hati untuk mengirim surat itu ke alamat emailnya, maka dengan seketika harus ada pengikhlasan. Melupakan memang sulit. Kau hanya benar - benar melupakan jika kau telah menemukan pria baru lagi. Ada 2 pilihan yang beberapa orang terapkan dalam mencintai diam - diam. Pertama, melebihkan usaha agar cinta tak bertepuk sebelah tangan, atau yang kedua... pada akhirnya kau harus merelakan. Merelakan dia berbahagia, merelakan hati berpindah rasa.
Kisaran,
Di tulis pada 05 Februari 2015
[Hanya cerita fiktif biasa]
Comments
Post a Comment