Pagi ini sama seperti biasanya, kegiatan selepas kuliah yang harus ku nikmati. Kuayun-ayunkan kedua kaki di bawah meja sambil jari jemariku dengan lancarnya menyentuh keyboard laptop.
"Huhhh I need idea, God!!" gumamku lalu mengambil jedah sebentar dengan mata menatap ke langit - langit kamar.
" Mama pergi dulu ya. Oh ya, ini ada paketan atas nama kamu. Mama letak di atas kasur" sambut mama yang kembali meninggalkanku sendirian di kamar bernuansa merah jambu tersebut. Mataku tak henti terus menuju ke arah bungkusan yang pagi sekali di hantarkan. Nuansa rumah begitu sepi, ayah yang baru saja pergi ke kantor beserta mama yang juga pergi dengan tujuan berbeda yaitu ke sebuah sekolah dimana ketika SD aku mengenyam pendidikan. Rumah tampak begitu senyap hingga tapak kakiku terdengar keras memenuhi ruangan kamar. Kujamah bungkusan yang tak begitu besar, ku bolak - balik serta ku buka perlahan sampul yang menutupi benda di dalamnya. Sebuah gamelan mini sebesar bola kasti berlindung pada kotak berwarna biru muda. Di dalamnya ada secarik kertas dengan tulisan singkat:
"Hai kamu, ingat dengan benda ini? Benda yang menjadi bahasan kita kala kakekmu sangat pandai memainkannya hingga kamu pun tak jarang untuk sekadar mengiyakan ajakannya bermain selama beberapa menit dengannya. Aku hanya ingin berterima kasih, pernah mengajarkanku memainkannya pada gamelan peninggalan kakekmu. Terima kasih indira"
Sincerely,
Andra
Tanpa di sengaja kakiku pun mengarah ke sebuah studio mini dimana mama meletakkan gamelan peninggalan kakekku di ruangan mungil itu. Sesaat ku mainkan pelan gamelan, kupejamkan mata mencoba mengingat lebih jauh kala aku dan andra saling bergantian memainkannya dahulu.
"Hah??" Mataku terbelalak menatap ke segala penjuru. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi.
"Handphone?" Kataku dalam hati lalu merogoh saku celana kiri depanku, tempat andalanku menaruh ponsel jika sedang mengenakan celana jeans. Kutatap lekat-lekat ponselku.
"1 april 2015? Bukannya ini 1 april 2016?" Masih tak percaya, ku layangkan sepasang mata mengarah ke arloji di lengan kiriku. "2015 juga??" Tiba - tiba suara gamelan membuyarkan titik fokusku tentang tahun di mana aku terdampar. Kudengar dengan pasti bahwa suara gamelan tersebut berasal dari sebuah rumah kecil yang dari tampilannya seperti rumah keraton, namun lebih mungil. Kulangkahkan kaki, semakin mendekat hingga ku kenali siapa si pemain gamelan.
" Andra?"
"Hai dira.. lihat, aku sudah sedikit mengerti cara memainkannya. Walau di beberapa bagian masih terdengar sumbang. Oh ya, sini" ia menggeser badannya dan menyuruhku duduk di samping kirinya.
"Nih, ayo mainkan sebuah lagu. Bagaimana dengan sinden jawa andalanmu itu?"
Ia pun memejamkan matanya, begitu pun dengan aku. Entah mengapa, terkadang suara angin yang berhatur lembut mengiringi suara gamelan terdengar begitu romantis.
" Aku sudah membaca secarik surat yang tak pernah kamu kirimkan kepada si penujunya. Tapi si penuju dengan tak sopannya telah membaca tanpa sepengetahuan si pemilik maksud"
" Maksud kamu?" Kupalingkan mataku pada sesosok pria yang tetiba memegang tanganku dan membuat alunan lagu yang ku mainkan terhenti.
"Di surat itu kamu bilang bahwa senja sangat mencintai pantai. Namun sebuah senja tiba - tiba tak ingin muncul beberapa hari. Semesta ikut berduka dan mengabsenkan senja. Senja cemburu pada angin. Wanita yang di sukai oleh si pencinta pantai. Disukai dengan cara sedikit pemaksaan di bulan-bulan terakhir si pecinta angin. Akulah si pecinta pantai itu bukan? Kamu, pecinta senja. Dan Zia, si pecinta angin. Zia, yang kau gadang - gadang adalah sahabat terbaikmu. Maaf atas curhatan tentang zia yang selalu ku ceritakan padamu. Maaf jika malammu tak menentu mendengar setiap kalimat dan nama zia yang selalu menjadi bahasan kita. Aku minta maaf dira. Seperti katamu sebelumnya, aku harus terbiasa mencintai zia. Walau tanpa kamu tahu. Pertama kali melihat, kamulah yang aku suka"
" Kamu tahu? Dira memcintaimu dengan sangat" tukasku.
"Tapi bukankah kamu mencintaiku lebih dulu? Sebelum zia. Mengapa kamu menjodohkan aku dengan zia? Jangan bilang karena penyakit yang zia idap. Kanker darah".
"Sudahlah. Aku hanya ingin menjadi sahabat terbaiknya di masa kritisnya Ndra".
"Dan mengorbankan kamu?"
"Iya" kutinggalkan Andra dan berlari sekuat mungkin hingga tak lagi kuhindari sebuah lubang besar memakanku.
"Awwww!!!!" Teriakku dan tanpa sadar suasana pedesaan sepi berubah ke tempat studio miniku dengan tubuh seperti baru saja dijatuhkan. Kutegakkan badan mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Kuarahkan kembali mataku pada arloji dan ku lihat tahunnya. 1 april 2016. Kutatap gamelan yang pernah diselimuti tawa setahun yang lalu. Tawa andra yang tak pernah kudengar lagi kala Tuhan memanggilnya selama - lamanya. Ia harus meninggalkanku terlebih dahulu setelah zia pun yang tak dapat menahan rasa sakitnya. Kecelakaan yang tak pernah ku bayangkan harus merenggut seorang pria yang pernah kutaruh rasa sukaku. Seorang pria yang sangat menyukai kota Yogyakarta. Seorang pria yang menyukai senja, dan akan terus menyukai senja di sebuah diary digital miliknya.
Comments
Post a Comment