[Cerpen]
Aroma petrichor menghujam rongga hidung. Seakan terkalahkan dengan aroma coklat hangat yang tenang bersebelahan dengan dinding kaca di sebuah Cafe favoritku sejak 3 tahun lalu. Di tempat itu pulalah aku pernah bertemu dia, pria terindah yang pernah kumiliki raganya, hatinya. Ya, masih jelas teringat bagaimana caranya berkenalan, dan kemudian waktu membiarkan tawa kami saling beradu.
Di luar sana, tampak seorang wanita kecil berkisar 4 tahun asik mengambil sampah - sampah yang berserakan. Memungutnya satu persatu dengan tangan mungilnya yang putih, lalu meletakkan ke tempat sampah yang berjarak sekitar 10 meter dari tempatnya terdiam. Gerimis terus menyapa tubuh kecilnya. Baju biru polkadotnya pun hampir basah sepenuhnya. Namun terlihat dari wajahnya bahwa ia sangat menikmati aktivitas sosialnya sore itu. Ibu dan Ayahnya menunggu sembari memegang sebuah handuk kecil berwarna biru. Entah apa yang ada pada fikir mereka. Namun terlihat bahwa mereka ingin melihat malaikat kecilnya tak menjadi wanita egois nantinya. Sampah berserakan yang mungkin hanya di anggap angin lalu oleh para pengunjung dan para pembuang sampah tak berhati, menjadi sebuah pembelajaran dini untuk di ajarkan pada malaikat kecil mereka. Kedua orang tua itu pun sesekali menunjuk ke arah sampah yang terlewatkan oleh putri kecilnya. Dengan tawa manis sang malaikat kecil, aku dapat mengartikan bahwa bahagia itu sederhana. Di bawah gerimis yang tak ingin berhenti, ia seolah memberi contoh pada setiap pengunjung bahwa apa salahnya jika kita membuang sampah pada tempatnya?? Kesadaran yang bukan hanya milik mereka para pecinta kebersihan, dan mereka para aktivis sosial lainnya. Namun seharusnya jika kita tidak suka memungut sampah, maka jangan pernah membuang sampah sembarangan.
Sore itu, padahal ada alasan lain aku terduduk di Cafe dengan meja nomor 6 yang terletak di sebelah barat di mana aku sering menikmati senja. Ya, posisi yang sangat strategis menikmati sekaligus bercengkrama dengan senja di meja nomor 6, meja langganan. Berseberangan tepat dengan pohon akasia yang berjajar rapi membentuk barisan - barisan.
Sama seperti Diga, senja pun tak datang. Awalnya aku berharap bahwa gerimis yang telah berubah menjadi hujan segera berhenti. Sebab, senja setelah hujan itu biasanya lebih indah. Cahaya jingganya utuh dengan latar langit yang sedikit gelap. Matahari yang terbenam itu tak tampak menyilaukan dengan kombinasi jingga kemerah - merahannya.
Aku kembali membuka ponselku, melihat kembali pesan yang pernah Diga kirimkan padaku. Mungkin saja ingatanku sedikit memudar karena usia dan beban fikiran lainnya.
' Letra Cafe, sore di 09 Januari. Di meja nomor 6 favoritmu, ayo kita bertemu sayang. Banyak yang ingin kuceritakan. Sepertinya kita bakal bertiga, bukan berdua lagi. Iya, aku lupa. Teman curhat terbaikmu juga pasti hadir di sana. Iya, Senja di sore hari ツ'.
Mereka berdua curang. Tak ada yang hadir satu pun. Kemarin, aku berkata pada senja bahwa hari ini kebahagiaanku datang. Iya, kebahagiaanku adalah Diga. Kekasih yang selalu menertawakanku kala aku tengah mengaduh pada senja. Katanya sebegitu introvertnya aku hingga tak sungkan untuk menceritakan kisahku pada senja. Entahlah, aku lebih percaya pada senja yang tak akan membongkar rahasia - rahasiaku. Karena senja tak pernah berdusta. Senja telah menjadi sahabat terbaikku saat ini.
Drrrtttt......drtttt.... getar ponsel segera membuyarkan ingatanku. Sebuah pesan datang atas nama Diga, mataku segera kualihkan dari pandangan luar karena berniat ingin marah padanya jika ia telat atau membatalkan janji.
"Maaf teman - teman semua. Segera hapus nomor ini karena tidak akan di pergunakan lagi. Sebelumnya, saya atas nama keluarga Diga minta maaf yang sebesar - besarnya jika pernah ada kata maupun sikap Diga yang tak berkenan di hati teman - teman semua. Doakan Diga selalu. Semoga Diga tenang di sisi Tuhan, di tempatkan di tempat yang terbaik, di terima amalnya. Amin. Terima Kasih semua."
Sore itu, seakan hujan mengetahui perasaanku. Langit terus menangis dan halilintar terus bersahut - sahutan mengoyak batin yang serasa membeku. Kutinggalkan meja nomor 6, aroma petrichor yang menjadi canduku, dan turut serta pada hujan yang tak ingin berhenti. Senja tak curang, ternyata ia telah berduka lebih dulu dariku, sebagai sahabat terbaik ternyata ia tak sanggup untuk menampakkan cahaya indahnya kala telah hilangnya kebahagiaanku. Terima kasih kamu, yang pernah menertawanku sekaligus menjadi tak terlihat kala aku mengeluh pada senja.
Kisaran,
Di tulis pada 09 Januari 2015
(Hanya cerita fiktif biasa)
Comments
Post a Comment