Entah kenapa malam itu semua tiba tiba berubah. Bahkan sebuah perasaan tak biasa muncul. Dan baru tersadar esok hari sembari perlahan mengingat doa kapan yang sedang Tuhan kabulkan. Perihal perasaan sendiri pun tetap Tuhanlah yang mengatur. Ah, benar saja, DIA Maha pembolak balik hati manusia. 3 tahun menyukai pria sama ternyata seperti ini. Tanpa temu. Tanpa hilang sedikitpun rasa. Namun lagi lagi kebiasaannya masih tetap sama. Kembali menghilang. Bahkan setelah kehilangannya tidak tahu harus mengendalikan perasaan yang bagaimana. Penghujung 29 ternyata memberikan kisah campur aduk yang baru ini di rasa. Ternyata lebih ikhlasku mampu kucipta meski tidak tau alur seperti apa yang akan dijalani nantinya. Ah, mari tetap semangat. Mari tetap menggantungkan cita cita. Mari untuk jangan membenci perasaan cinta itu sendiri meski berkali kali kandas.
Hujan terkadang dapat membuat orang-orang yang tadinya tak saling memperhatikan jadi saling memperhatikan satu sama lain , yang tadinya tak saling perduli jadi perduli. Sore itu, aku dan 3 sahabatku melarikan diri dari kampus karena tidak tahu ingin melakukan apa lagi. Tidak ada jadwal bimbingan, ketua jurusan pun juga sedang tidak berada di kampus.
Akhirnya kita ber-empat memutuskan untuk pergi ke alun-alun, menemani dua sahabat yang berencana untuk lari sore. Cuaca cukup cerah, hingga saat tawa masih belum tersadarkan, dan cerita-cerita seru masih terus terlantun, gerimis pun dengan tiba-tiba menjelma menjadi hujan yang tak disangka. Cuaca seketika menjadi sedikit gelap dengan matahari yang enggan menampakkan cahaya tengelamnya yang indah seperti kemarin. Para pengunjung yang memang menjadikan alun - alun sebagi tempat untuk lari sore, bermain skeatboard, atau hanya sekadar berkumpul menghabiskan waktu sore mereka dengan latar mesjid agung nan megah serta bangunan kerang raksasa yang mana adalah ikon tanah kelahiranku itu langsung berlari menuju bangunan kerang raksasa yang mana sebelumnya tidak diperbolehkan secara sembarangan pengunjung untuk duduk-duduk di dalamnya. Bangunan itu seketika ramai dengan bekas-bekas jejak sepatu, juga banyak dari mereka yang membentuk kelompok-kelompok sembari berbagi kisah, berselfie dengan tongsis mereka, menatap ponsel dengan senyum mengembang, dan tak jarang dari mereka terdiam sambil menatap hujan penuh arti. Suasana yang sebelum hujan membasahi alun-alun terlihat saling cuek, sibuk dengan aturan nafas mereka ketika berlari, sibuk dengan gadget masing - masing, sibuk bercerita dengan orang-orang terdekat mereka, kini berubah menjadi pemandangan yang saling memperhatikan satu sama lain tanpa saling mengganggu, tampak akrab dengan suara riuh mereka ditambah dengan angin yang tak jarang membuat pakaian dan rambut terayun pelan.
Dan ada moment dimana hampir separuh dari para peneduh memandang ke arah seorang kakek sedang berlari dibawah hujan yang sudah tidak begitu deras. Ia seakan tak perduli dengan air membasahi tubuh yang tak lagi mudah dengan ayuhan langkah kaki yang terbatas termakan usia. Kepalanya tampak tertutupi sebuah penutup kepala yang tak terlihat jelas seperti topi atau plastik. Kami semua memandang tajam oleh langkah penuh semangatnya, satu persatu terlihat beberapa pria muda mengikutinya sambil berlari kecil dengan langkah yang jauh lebih lebar dari si kakek. Mereka ikut berlari - lari kecil sambil tersenyum melihat ke arah si kakek. Sesaat kemudian satu persatu para peneduh yang berada di dalam kerang besar itu juga turun, dan melanjutkan aktivitas mereka seperti sebelum hujan mengguyur. Dan tentu, penjaga tempat itu akhirnya menyuruh kita turun karena yang aku fikir bahwa tempat tersebut memang harus terjaga kebersihannya yang mana saya anggukan pemikirannya. Dan si kakek pun tak berlari sendiri lagi di bawah kolong langit yang masih terasa rintikkan airnya sore itu. Mungkin fisik bisa saja membuat orang lain beropini apapun itu, namun semangat memang tak bisa terelakkan dengan hal lain yang menutupinya. inya. Hujan itu kode alam, moment ketika setiap orang saling memperhatikan juga mengingat masa lalu.
Comments
Post a Comment