Entah kenapa malam itu semua tiba tiba berubah. Bahkan sebuah perasaan tak biasa muncul. Dan baru tersadar esok hari sembari perlahan mengingat doa kapan yang sedang Tuhan kabulkan. Perihal perasaan sendiri pun tetap Tuhanlah yang mengatur. Ah, benar saja, DIA Maha pembolak balik hati manusia. 3 tahun menyukai pria sama ternyata seperti ini. Tanpa temu. Tanpa hilang sedikitpun rasa. Namun lagi lagi kebiasaannya masih tetap sama. Kembali menghilang. Bahkan setelah kehilangannya tidak tahu harus mengendalikan perasaan yang bagaimana. Penghujung 29 ternyata memberikan kisah campur aduk yang baru ini di rasa. Ternyata lebih ikhlasku mampu kucipta meski tidak tau alur seperti apa yang akan dijalani nantinya. Ah, mari tetap semangat. Mari tetap menggantungkan cita cita. Mari untuk jangan membenci perasaan cinta itu sendiri meski berkali kali kandas.
June #ShortStory
"Kamu yang memilih pergi. Apa bisa aku melarang?" Kata wanita yang sedang menunduk lalu meletakkan undangan bahagia di hadapan pria yang semeja dengannya.
Ada jeda panjang dan seketika guntur menggelegar. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Dulu, wanita itu suka sekali memejamkan mata mengucapkan beberapa harap dalam hati. Ia memercayai anggapan tentang "berdoalah ketika hujan pertama sedang turun. Karena doamu akan dikabulkan".
---------------------------------
"Aku sedang dilema saat itu" Ucap pria yang memutuskan untuk mengantarkan Sheila pulang. Diparkirkan mobilnya di pinggir jalan. Rupanya masih banyak yang ingin ia bahas perihal alasan menghilangnya tiba-tiba.
"Saat itu ibu sedang mengenalkanku pada seorang wanita. Aku mengiyakan ajakannya hingga memutuskan untuk tidak menyakitimu"
"Alasanmu salah" Potong Sheila sembari tersenyum sinis.
"Kamu pikir dengan menghilang segala permasalahan terjawab? Kamu pikir dengan menghilang aku akan baik-baik saja saat itu? Kamu masih berpikir atas kesakitanku tanpa kabar? Kamu tahu.. Tanpa kabar lah yang semakin buatku sakit. Jika tak ingin kukejar seharusnya kamu bilang. Aku gak akan memaksa apapun atasmu".
"Tapi aku bingung saat itu. Kamu pikir gampang memutuskan 3 hal di waktu yang bersamaan?". Ia mengehela nafas panjang. Jari-jari kanannya tampak memijat dahi seolah ingin melemaskan otot berpikirnya.
"Aku sedang dilema saat itu" Ucap pria yang memutuskan untuk mengantarkan Sheila pulang. Diparkirkan mobilnya di pinggir jalan. Rupanya masih banyak yang ingin ia bahas perihal alasan menghilangnya tiba-tiba.
"Saat itu ibu sedang mengenalkanku pada seorang wanita. Aku mengiyakan ajakannya hingga memutuskan untuk tidak menyakitimu"
"Alasanmu salah" Potong Sheila sembari tersenyum sinis.
"Kamu pikir dengan menghilang segala permasalahan terjawab? Kamu pikir dengan menghilang aku akan baik-baik saja saat itu? Kamu masih berpikir atas kesakitanku tanpa kabar? Kamu tahu.. Tanpa kabar lah yang semakin buatku sakit. Jika tak ingin kukejar seharusnya kamu bilang. Aku gak akan memaksa apapun atasmu".
"Tapi aku bingung saat itu. Kamu pikir gampang memutuskan 3 hal di waktu yang bersamaan?". Ia mengehela nafas panjang. Jari-jari kanannya tampak memijat dahi seolah ingin melemaskan otot berpikirnya.
"Disaat yang bersamaan aku sedang dilema atas restu yang tak kunjung tiba oleh orang tua pada perempuan yang kucinta sebelum bertemu denganmu. Dan saat yang bersamaan kamu datang. Sempat ada perasaan bahagia karena sudah menjadi obat atas patah perihal masa lalu. Aku bahagia atas cinta tulusmu. Aku takut menyakiti kebaikanmu padaku. Dan saat itu juga ibu ingin aku segera menikah. Dengan perempuan yang sudah ia pilih"
Derasnya hujan membuat jalanan yang semula ramai menjadi khidmat. Hanya ada kelap-kelip lampu jalan yang terbias air, kilatan guntur yang semakin menjadi-jadi, juga alunan musik Andmesh-Kumau Dia yang melantun lembut ditengah pembahasan pilu.
"Mau gimana lagi sekarang. Waktu tidak bisa diulang. Itu kenapa aku selalu meyakini untuk jujur atas perasaan di awal perkenalan. Agar tak ada penyesalan. Aku tak mau masa lalu datang di masa depan sebab aku tak mau menyakiti pria di masa depan yang tulus memilihku tanpa kedilemaan"
"Kamu nyindir aku? "
"Iya. Kamu terlalu menggampangkan beberapa hal. Urusan hati itu riskan jika tidak segera diselesaikan. Kelak ada kehidupan yang mungkin saja bisa hancur hanya karena sebuah kisah lama yang belum usai. Kamu tidak pernah berpikir tentang orang-orang di masa depan yang kasihan. Mereka harus beradu dengan masa lalu sang pendamping. Aku tidak mau sejahat itu. Itu kenapa dulu kuturunkan harga diri untuk menyatakan cinta duluan padamu" Bibir sheila mengatup dan tak berkata-kata lagi.
Keheningan kembali berkuasa. Pandangan sendu pria disebelah beradu dengan nafas terengah-engah wanita berkulit sawo matang yang sedang menahan tangis. Sebuah bom serasa ingin meledak saat itu juga. Namun wanita itu berusaha tegar walau sesekali air matanya lelah juga untuk tertahan. Matanya berbinar pilu. Jemarinya kaku. Dan hatinya serasa membeku. Hujan malam itu jahat. Ia menumpahkan deras di luar dan di dalam. Ia meromansakan nuansa hingga cerita sedih berkunjung.
Comments
Post a Comment