Cerbung
Part III
Baca Part I di sini
Baca Part II di sini
"Bahkan aku tidak mengerti kenapa sampai sekarang kamu belum menerima tawaranku untuk menikahimu" ucap pria di hadapku memecah keheningkan dari kami berdua yang tampak asik menyantap makanan.
" Bahkan aku juga tidak mengerti kenapa Papa belum menemuiku hingga saat ini. Kamu tahu, alasan terindah ketika anak perempuannya menikah adalah seorang Papa yang langsung menjabat erat tangan pria calon suami anak perempuannya. Aku ingin memastikan di hadapannya bahwa aku benar - benar sudah tumbuh besar". Kuletakkan sendok dan garpu bersamaan di piring putih yang pinggirannya di hiasi garis berwarna emas. Kutatap wajahnya lekat tanpa sepatah kata untuk beberapa saat. Pria itu balas menatapku dengan raut wajah tak seperti baik - baik saja. Ia melipatkan kedua tangannya di atas meja bak anak Sekolah Dasar yang dengan seksama menatap dan mendengar gurunya. Hujan diluar sana mengguyur kota Medan tanpa disangka sebab baru saja aku mengeluh kepanasan yang membuat keringatku terus mengucur. Kubenamkan wajahku dikedua tangan yang juga kulipatkan di atas meja. Yang kutahu detik ini adalah bahwa aku sangat merindukan figur seorang papa, bahwa aku ingin menceritakan apapun yang kurasa pada sosoknya. Beginikah cerita hidup yang memang harus kujalani?
" Kamu tahu? Sejak kecil, aku sangat takut akan badut. Rasa takut itu bahkan masih tak berhenti hingga saat ini. Dan aku ingin sosok Papa kembali meyakinkanku agar tak ada yang perlu kutakuti atas sosok badut tersebut seperti rasa takutku pada gelap sebelumnya. Papa selalu mengatakan bahwa dalam gelap kita akan baik - baik saja. Beliau bahkan terus menenangkanku saat kami berada di tempat yang gelap, menceritakan kisah lucu agar rasa takutku terusir".
••••
Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang empuk yang dilapisi bed cover berwarna merah muda dengan motif polkadot. Kutatap langit - langit kamarku, sebuah bohlam yang baru saja kuganti kembali menyeruakkan ingatan. Ya, aku memang sudah tumbuh menjadi gadis besar. Bahkan mengganti bohlam itu pun kulakukan sendiri tanpa ada yang membantuku memegangi tangga walau sebenarnya aku takut akan ketinggian. Kufikir - fikir mengapa banyak sekali ketakutan yang kurasa. Kurubah posisiku, mendudukkannya dan kembali menatap kesekeliling ruangan. Boneka teddy bear berwarna putih yang terletak di atas meja setinggi 1 meter itu bahkan tak pernah berubah posisinya. Masih sama di posisi saat pertama kali Papa meletakkannya. Jika orang tua lain bahkan menyuruh anaknya tidur dengan memeluk boneka, lain pula dengan Papa. "Tak perlu ada yang harus kamu peluk setiap kali hendak tidur sebab tanpa benda itu pun kamu juga dapat tertidur nyenyak". Kata - kata yang bahkan masih ingatanku rekam baik hingga saat ini.
Kuputar tombol di arlojiku, menyamakan waktunya yang ternyata lebih lambat 10 menit. Bukankah setiap orang selalu mengatakan bahwa waktu adalah uang? begitu pun denganku yang tak ingin membiarkan waktu berlalu barang sedetik pun. Kuranggaikan tangan kananku hendak mengambil tas yang entah mengapa kuletakkan di dalam lemari bagian atas yang tingginya 10 cm dari kepalaku. Kurapikan kembali pakaianku dan menyisir rambut sebahu ini untuk yang kedua kalinya. Ku layangkan arah pandang atas sosok ku di dalam cermin dari atas ke bawah hingga klakson mobil yang tak asing lagi membuat arah mataku tersentak. Kulongokkan kepala dari jendela dengan gorden putih yang kembali menyibakkan rambut rapiku. Kali ini tak lagi menatap cermin dan menyisir rambut dengan seksama, kurapikan rambut yang sedikit berantakan tersebut dengan jemari - jemari lentikku, dan membuat suara berisik dari hentakan kaki - kaki yang menuruni anak tangga. Pria tersebut menyandarkan tubuhnya di depan mobil, memalingkan wajahnya ke arahku dan melebarkan senyumnya.
To be continue.....
Comments
Post a Comment