Lelaki paruh baya itu mendatangi kamar tidur sang malaikat kecilnya Yang kini telah tumbuh menjadi gadis cantik. Lelaki itu terduduk di tepian tempat tidur. Terdiam sambil jari jemarinya mengelus kaki kanan Yang dilipatnya. Dalam hati mungkin tak patut ia membangunkan sang anak yang masih terlelap walau udara pagi telah bergantian memasuki kamar dari sela sela pentilasi.
Tak menunggu lama, sang anak sadar. Kedua putri lelaki itu terbangun dengan sedikit terkejut. Di hadapan mereka kini ada lelaki tercinta Yang terlihat sedang gundah. Ada sebuah tanya terlontar dari salah satu gadis itu, mengharap akan ada jawaban keluar dari mulut sang ayah.
Nihil.
Di mata lelaki paruh baya itu kini ada buliran air yang terkadung mengalir membasahi pipi. Seperti semesta yang begitu mencintai alam dengan menjatuhkan air dari langit, lelaki itu pun sama.
Ternyata ada rindu yang tak mampu diucapkan. Hingga sesak di dada mengantar rasa patah melalui mata.
Tak ada suara. Tak ada pula pertanyaan serta ucapan lainnya. Sebab ketika seseorang sedang merasa patah, ia tak butuh sebuah pepatah untuk sekedar membuatnya mengelus dada. Lalu membiarkan hati bersahabat dengan logika.
Di pundak lelaki itu ada tangan - tangan mungil yang dulu pernah di titahnya agar sang malaikat kecil mampu berdiri sendiri nantinya.
Kedua gadis itu berharap dengan tangan mereka yang menepuk lembut pundak sang ayah, Akan ada kenyamanan Yang membuat sesak di dada tak terus bersemayam hingga takutnya akan menghasil luka.
Di hadapan mereka, ada sebuah pigura dengan foto malaikat terindah kecintaan mereka. Ya, mereka sedang ditegur rindu. Rindu yang tak pernah memiliki jeda untuk dihentikan. Rindu yang menyakitkan para penikmatnya. Rindu yang mampu membuat setiap orang terkadang lupa akan akal sehatnya.
Pagi sedang menampar rindu pada mereka. Mengingat sosok ibu yang kini tak lagi bersama, karena ternyata Tuhan lebih mencintainya.
With love
Yours
Comments
Post a Comment